by

Sekuel Penumpukan Pasien dan Kelangkaan Obat Covid-19

“Saya Takut Rakyat Miskin Mati Bergelimpangan”

Kepanikan tiba-tiba menyeruak di komunitas wartawan yang terpantau di WAG “Wartawan Ngalam Seduluran”, Kamis (8/7/2021), pukul 16.01 WIB. Soalnya, seorang reporter RRI, Roy Mastur, dikabarkan keleleran di parkiran RS Lavalette Malang. Ia positif terinfeksi Covid-19. Kondisinya sudah drop, saturasinya di angka 40. Tetapi ia tertahan tak kunjung mendapatkan layanan medis karena keterbatasan BOR (bed occupancy rate) di rumah sakit milik PTPN XI itu. Semua tempat tidur perawatan pasien Covid tak bersisa.

Di tengah kepanikan itu beberapa wartawan meneruskan kabar tersebut ke WAG Humas Pemkot Malang. Mereka “meneriaki” Walikota Malang, Drs. H. Sutiaji, agar turun-tangan turut membukakan akses agar pasien Roy Masur segera mendapatkan perawatan medis. Sekitar satu jam kemudian, tepatnya pukul 19.07, berkat bantuan Walikota Malang, akhirnya pasien Roy Mastur mendapatkan penanganan medis di IGD.

Lain halnya dengan kesialan Khamid, 65 tahun, warga Bratang Wetan Gg 1C/21, Surabaya ini. Ketika ia meninggal dunia di rumahnya, Kamis (8/7) dinihari, jenazahnya terlantar tak terurus lebih 24 jam. Keluarga maupun tetangga sekitar tak berani menyentuh mayat lelaki renta yang sudah kaku. Secara administratif ia bukan pasien Covid-19, yang tengah menjalani isolasi mandiri (isoman). Hanya saja petugas RT setempat sudah terlanjur menelpon ke 112 (room center) Pemkot Surabaya. Maksudnya, meminta bantuan layanan ambulans saat jenazah hendak dikuburkan.

Justru karena laporan terlanjur masuk ke 112, petugas melarang siapa pun –termasuk keluarga almarhum, agar tidak menyentuh jenazah tersebut. Keluarga kontan jadi panik karena hingga siang ambulans 112 tak kunjung datang. Ely, putri almarhum, diberi tahu agar menunggu karena petugas medis dari 112 sangat sibuk di hari itu. Sampai akhirnya, Jumat (9/7) subuh, jenazah dievakuasi ke RSUD Dr Soetomo untuk dimandikan, sebelum akhirnya dimakamkan pada blok korban Covid-19 di TPU Keputih.

Lalu bagaimana kelanjutan nasib Roy Mastur? Ternyata Tuhan berkehendak lain. Meski sempat mendapat perawatan selama empat hari di Lavalette, reporter senior di RRI Malang tadi akhirnya menghembuskan nafas terakhir, Senin (12/7) dinihari.

Melihat sekuel-sekuel mengenaskan itu sontak membuat Ketua MAKI Korwil Jatim, Heru Satriyo, SIp, menjadi geram sejadi-jadinya. Ia mengaku dapat merasakan kesulitan yang dihadapi para pasien maupun keluarganya yang sama sekali tak punya akses ke stakeholders baik rumah sakit maupun apotek. Apalagi yang tak punya cadangan dana yang cukup untuk biaya perawatan di rumah sakit.

“Soalnya saya sudah mengalami sendiri ketika istri saya kolaps, nafasnya tersengal-sengal, pekan lalu,” paparna, Selasa (13/7).

Heru lalu mengisahkan, sepekan lalu istrinya mengalami gagal (amfal) nafas dua kali.  Ia membawanya ke RS Prima Husada. Karena saturasi oksigennya rendah, di angka 88, akhirnya disarankan ke rumah sakit lebih besar. Ia pun bergeser ke RS Mitra Keluarga, Pondok Candra. “Di Pondok Candra dinyatakan penuh. Kemudian via telpon saya cek ke RS Royal dan RS Mitra Keluarga, Waru. Penuh juga. Pusing saya malam itu,” ujarnya.

Akhirnya Heru berhasil menelpon Direktur RS Sheila Medica, dr Benjamin Kristianto MARS, di kawasan Juanda, Sidoarjo. Ia meminta tolong diusahakan akses untuk mendapatkan obat dan oksigen medis yang dibutuhkan istrinya. Tetapi karena Sheila Medica bukan rumah sakit rujukan untuk perawatan pasien Covid-19, sehingga istrinya belum juga tertangani.

“Cuma saya dapat resep obat dari dr Benny. Celakanya, saya sudah keliling di lima apotek, semuanya kosong. Obat yang diresepkan untuk terapi pasien Covid, hilang di apotek-apotek. Langka. Begitu halnya oksigen medis malam itu juga sulit dicari,” paparnya.

Namun Heru berpikir keras, menempuh “jalan belakang’’. Menurutnya, kebetulan kerabatnya punya kenalan yang mengelola apotek. Sampai akhirnya ia mendapatkan sejumlah obat sesuai resep dr Benny, koleganya.

“Ya, alhamdulillah, akhirnya saya dapat kiriman tablet azithromicyn, vitamin D, dan satu lagi saya lupa namanya. Dan, obat itu sampai ke alamat rumah lewat jasa ojek online,” imbuhnya.

Ia justru merasa kasihan rakyat kebanyakan yang sama sekali tak punya akses ke stakeholders pelayanan kesehatan, seperti dirinya. Bayangkan, orang-orang miskin yang dirujuk ke rumah sakit, sementara BOR-nya sudah fully booked, tentu terpaksa pasien dibawa balik pulang. “Saya khawatir rakyat miskin yang terjangkit virus corona itu mati bergelimpangan di tengah jalan sebelum sampai rumahnya,” katanya lagi.

Pasien dan Jenazah Menumpuk

Kerisauan yang dirasakan Heru tak berlebihan. Seiring tingginya kenaikan kasus terjangkit covid 19 di wilayah Jawa Timur, membuat pasien berbondong ke rumah sakit. Sehingga rumah-rumah sakit rujukan pasien covid tak mampu menampung pasien baru yang terus datang bergelombang.

Bahkan banyak UGD di daerah-daerah tak mampu lagi menampung pasien covid. Tak terkecuali di IGD RSUD dr Soetomo, Surabaya, penumpukan pasien Covid 19 pun kian menjadi. Sebab, RS Soetomo merupakan RS rujukan penderita Covid-19 dengan gejala sedang-berat. Dan, imbasnya prosentase angka kematian pasien covid yang membludak, juga naik.

Dirut RSUD dr Soetomo, dr Joni Wahyuhadi, mengatakan penumpukan pasien juga disebabkan karena sejumlah RS lain di Surabaya, menutup layanan IGD-nya karena tak sanggup lagi menampung pasien. “Banyak RS sekitar kami tutup IGD-nya karena tidak mampu lagi melayani dengan berbagai alasan. Sehingga ke Soetomo semua,” kata Joni, Minggu (11/7).

Saat ini, kata Joni, RSUD dr Soetomo tengah merawat 566 pasien Covid-19. Penumpukan itu bahkan hingga membuat ruang IGD tak muat menampung banyaknya orang yang datang. Sejumlah pasien bahkan harus dirawat di lantai beralaskan kasur, hingga di selasar IGD.

Sesuai data pada situs Satgas, dalam 24 jam terakhir terdapat penambahan sebanyak 36.197 orang yang dinyatakan positif Covid-19 menurut hasil pemeriksaan PCR.

Ketika Indonesia menempati peringkat pertama dunia dengan kasus kematian bertambah 1.007 kasus dalam tempo 24 jam, Senin (12/7), Jawa Timur menyumbang sebanyak 279 kasus dari data kumulatif 14.085 kasus. Sementara data kematian di Surabaya, antara 120-180 kasus/harinya.

Data kematian itu berkorelasi dengan fakta di lapangan, ketika MAKINews.id tengah berada di TPU Keputih, Surabaya, Senin (12/7). Dalam tempo 60 menit saja, ada enam atau tujuh mobil ambulans membawa jenazah dan dimakamkan di blok korban covid-19. Jika dalam sehari angka kematian pasien Covid-19 di wilayah Surabaya saja mencapai 180 kasus selama 24 jam, maka reratanya per jam (60 menit) adalah 7,5 kasus kematian.

Bagian New Normal?

Apakah angka kematian yang intervalnya kian meningkat, yakni 7,5 kasus/jamnya itu kini sesuatu yang luar biasa? Atau mungkin karena alasan pandemi maka peristiwa kematian sanak-saudara, para tetangga dan orang-orang tercinta, sekarang sudah terasa biasa-biasa saja? Dan, memudarnya rasa kehilangan orang-orang tercinta kita, apa betul bagian dari new normal.

Belum lagi mendapati kekacau-balauan belakangan ini. Seperti menumpuknya pasien dan jenazah di sejumlah rumah sakit, kelangkaan obat, dan oksigen medis bagi pasien covid 19, apakah juga bagian dari new normal itu? Sebuah kenormalan yang baru?

Hampir 1,5 tahun terakhir masyarakat kita disuguhi update data, tabulasi dan infografis perkembangan kasus Covid-19. Mulai data orang positif terjangkit covid setelah tes PCR, pasien yang dirawat, pasien yang sembuh, dan korban meninggal dunia, hingga pergerakan angka vaksinasi. Semua data terintegrasi dari daerah hingga pusat, ter-update setiap hari.

Penanganan pandemi Covid-19 sejauh ini terasa lebih modern, ilmiah, dan memenuhi kaidah akademis. Analisis mengenai perkembangan kasusnya dari hari ke hari, lalu kecenderungan-kecenderungan dampaknya secara sosial dan ekonomi, dari sudut pandang makro memang memberikan suatu perspektif yang bernilai.

Namun ketika semua itu disuguhkan di depan orang awam, seperti kerabat dari almarhum Khamid, warga Bratang Wetan, Surabaya, sudah barang tentu tidaklah relevan. Rasa jenuh dan lelah akibat dikepung ketakutan selama era pandemi Covid-19, sementara tidak sedikit di antara mereka telah kehilangan pekerjaan dan pendapatan akibat PHK, barangkali telah memunculkan statistiknya sendiri.

Tidaklah salah jika Heru MAKI lebih mencemaskan wajah-wajah merana di balik angka-angka statistik perkembangan penanganan kasus Covid-19 yang ter-update saban hari tersebut. (tim MAKINews)

Heru Satriyo (Ketua MAKI Korwil Jawa Timur):  “Seperti Hidup di Belantara Saja”

Ungkapan itu meluncur dari mulut Heru Satriyo, SIp,  ketua LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Korwil Jawa Timur, ketika menggambarkan pengalaman menegangkan di saat istrinya didera amfal pernafasan dua kali, pekan lalu.

Ia bercerita, Selasa (6/7) malam lalu sempat pontang-panting keliling ke sejumlah rumah sakit agar istrinya yang sakit segera mendapat penanganan medis. Ada lima rumah sakit yang dikunjungi. Tapi semua penuh. Tak menerima pasien.

Sampai akhirnya ia berhasil menelpon Direktur RS Sheila Medica , dr Benjamin Kristianto MARS, di kawasan Juanda, Sidoarjo. Ia meminta tolong diusahakan akses untuk mendapatkan obat dan oksigen medis yang dibutuhkan istrinya. Tetapi karena Sheila Medica bukan rumah sakit rujukan untuk perawatan pasien covid, sehingga istrinya belum juga tertangani.

Heru Satriyo

“Cuma saya dapat resep obat dari dr Benny. Celakanya, saya sudah keliling di lima apotek, semuanya kosong. Obat yang diresepkan untuk terapi pasien covid, hilang di apotek-apotek. Langka. Begitu halnya oksigen medis malam itu juga sulit dicari,” paparnya.

Namun Heru berpikir keras, menempuh “jalan belakang’’. Menurutnya, kebetulan kerabatnya punya kenalan yang mengelola apotek. Sampai akhirnya ia mendapatkan sejumlah obat sesuai resep dr Benny, koleganya. “Ya, Alhamdulillah, akhirnya saya dapat kiriman tablet azithromicyn, vitamin D, dan satu lagi saya lupa namanya. Dan, obat itu sampai ke alamat rumah lewat jasa ojek online,” imbuhnya.

Dari pengalaman menegangkan itu, menurutnya, terasa segalanya seperti kacau-balau. Seperti hidup di tengah hutan belantara. Sama sekali jauh dari keteraturan hidup dalam sebuah negara yang berdaulat.

“Terus terang kami nggak merasakan Negara atau pemerintah hadir di tengah masyarakatnya yang didera kesulitan akibat merajalelanya pandemi Covid-19 ini,” katanya.

Bagaimana tidak kacau? Menurutnya, semua rumah sakit penuh, tak menerima lagi warga yang kesakitan dengan gejala terpapar virus covid 19. Penduduk yang tak tertampung untuk menjalani isolasi atau perawatan di rumah sakit rujukan bagi pasien covid, memang disarankan balik ke rumah menjalani isoman (isolasi mandiri).

“Mereka yang apes, sangat mungkin terjadi, keburu meregang nyawa dan bergelimpangan di jalan, sebelum sampai di rumah,” tandasnya.

Sementara obat-obat untuk terapi pasien Covid kini semakin langka di apotek-apotek. Begitu juga tabung oksigen medis sempat terjadi kelangkaan. Bahkan bagi yang isoman, kalaupun mendapatkan tabung oksigen di toko alat kesehatan (alkes) atau agen pengisian oksigen, masalah berikutnya muncul gara-gara regulator untuk tabungnya yang kini langka. Kalaupun ada barang, harganya pun melangit.

Melihat situasi yang runyam sepert itu MAKI Jatim menyatakan prihatin. Untuk itulah dipandang perlu MAKI Jatim berencana akan menggelar aksi frontal melakukan “penyegelan” banyak rumah sakit yang penuh pasien, apotek-apotek yang tak lagi menjual obat yang dibutuhkan pasien Covid.

Mengingat pengalaman buruk untuk mendapatkan layanan medis, saat istrinya dalam kondisi emergency mengalami amfal di sistem pernafasan, Heru mengaku  tak bisa membayangkan bila kesulitan serupa menimpa warga kebanyakan. Sebab kemungkinan mereka tak memiliki akses sama sekali ke pihak pengelola rumah sakit maupun apotek terkait keperluan obat terapi bagi pasien covid-19. “Dalam peristiwa yang emergency seperti itu saya berani memastikan, bahwa pemerintah, baik pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten/kota, jelas tidak hadir dalam konteks pelayanan kesehatan masyarakat!” pungkasnya.

Koordinator Liputan: Leres Budi Santoso; Kepala Editor: Assadurokhman; Tim Liputan: M. Sholehuddin, Jhon Masfian, Febri Lian Putra.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed