Oleh: Leres Budi Santoso
Setidaknya ada tiga tonggak dalam sejarah pertelevisian di Indonesia, yaitu tahun 1962, 1979, 1987. Dan tidak lama lagi, yaitu tahun 2022, masyarakat Indonesia pun bakal mengalami tonggak yang ke empat!
Pada tahun 1962 adalah siaran uji coba stasiun TV pertama di Indonesia. Yang disiarkan adalah upacara Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1962, di Istana Merdeka. Kemudian disusul TVRI menyiarkan Asian Games IV di Jakarta (24 Agustus sd 12 September 1962). Indonesia boleh bangga kala itu, karena Indonesia negara ke empat di Asia Tenggara yang mempunyai stasiun TV sendiri (setelah Jepang, Filipina dan Thailand).
Tahun 1979 adalah tonggak yang membuat pemirsa TV di Indonesia semakin gandrung menonton TV, yaitu revolusi teknologi dari TV hitam putih ke TV berwarna. Mulanya dimulai dari siaran di Jakarta, kemudian secara nasional. TV semakin “cantik” dan “indah”, meski masyarakat harus mengganti pesawat TV-nya.
Lantas tahun 1987, tepatnya 20 Maret, ditandai dengan masuknya perusahaan TV swasta dalam kancah pertelevisian di Indonesia, yaitu pemberian ijin kepada RCTI untuk melakukan siaran TV berlangganan, walau baru sebatas di Jakarta. Namun sejak itu perusahaan TV swasta terus bermunculan.
Tidak lama lagi, tahun 2022, masyarakat Indonesia akan menghadapi tonggak baru lagi dalam dunia pertelevisian, yaitu migrasinya TV analog ke TV digital. Meski mulai November 2022 siaran TV analog berakhir (analog switch off/ASO), namun sejak lama sejumlah stasiun TV swasta sudah melakukan siaran simulcast (siaran bersamaan antara analog terrestrial dengan digital terrestrial), dan Juni 2021 ini diperkirakan beberapa penyelenggara siaran di Jawa Timur akan melakukan uji coba siaran digital terestrial.
Kampanye TV digital terestrial sebenarnya sudah dilakukan jauh hari, tentu saja melalui stasiun TV masing-masing. Bahkan diskusi publik tentang TV digital di Indonesia ini sudah menghangat sejak tahun 2006-an, ketika International Telecommunication Union (ITU) di Jenewa pada 2006 menetapkan tahun 2015 dimulainya penyiaran digital oleh seluruh negara anggota ITU.
Di Indonesia, penetapan atau dasar hukum migrasi dari analog ke digital diatur dalam pasal 60A UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Masyarakat pasti akan sedikit nggrundel lantaran harus “ngerogoh saku” untuk membeli pesawat TV terkini untuk bisa menikmati TV digital. Sebetulnya TV yang lama masih terpakai asal membeli set top box yang harga per unitnya sekitar Rp 150.000 sampai Rp 200.000 (tapi bisa jadi pemerintah atau penyelenggara siaran membagi-bagikan gratis set top box). Set top box adalah alat bantu penerima digital berupa kotak decoder yang menyambungkan kabel dari antena UHF ke pesawat TV.
Seharusnya tidak perlu nggrundel, karena membeli set top box atau membeli pesawat TV baru hanya sekali, dan itu akan ditebus dengan kualitas kualitas gambar high definition (HD) dan suara yang lebih jernih.
Migrasi analog ke TV digital diperkirakan akan diikuti dengan lahirnya penyelenggara siaran atau perusahaan TV swasta baru. Di Jawa Timur dapil I (bukan dapil zona politik tapi zona pertelevisian) sendiri, informasi yang saya dapat, terdapat 40 slot untuk lembaga penyiaran baru. Dari jumlah itu masih sebagian kecil terpakai. Saat ini banyak lembaga atau investor yang sedang mengajukan ijin untuk siaran digital.
Banyaknya lembaga penyelenggara siaran atau TV swasta di Jawa Timur tentu kita sambut dengan gembira. Karena bukan saja memberi masyarakat banyak pilihan informasi, edukasi dan hiburan, namun juga membuka ruang ekspresi bagi pekerja seni dan pekerja kreatif di Jawa Timur.
Dari Kejuruan Hingga PH
Saat ini di Jawa Timur banyak berdiri SMK yang mempunyai jurusan multimedia, yang menyiapkan siswa didiknya menjadi tenaga siap pakai di stasiun TV. SMK multimedia bisa menjadi garda depan penyuplai tenaga kerja di TV swsata, terutama produksi. Sejauh ini banyak stasiun TV swasta di Jawa Timur yang bermitra dengan SMK multimedia dengan menyediakan tempat untuk praktek.
Tentu saja bagi siswa lulusan SMK yang akan bekerja di stasiun TV swasta harus belajar tahapan lebih lanjut, karena ilmu multimedia yang diajarkan di sekolahan masih sangat dasar, atau boleh dikatakan baru sekadar pengenalan alat.
Selain SMK, di Jawa Timur banyak bermuncuan lembaga kursus broadcasting, terutama presenter. Sekolah informal ini dikelola oleh praktisi senior. Berdirinya sekolah presenter ini untuk memenuhi kebutuhan tenaga presenter di stasiun TV, baik TVRI maupun swasta.
Pengelola TV swasta banyak diuntungkan oleh kehadiran sekolah-sekolah seperti ini, karena mendapat presenter yang siap pakai, baik itu untuk siaran di studio (in door) maupun out door. Sedangkan calon presenter sendiri membutuhkan stasiun TV swasta karena dua hal. Pertama, untuk menyalurkan bakatnya. Kedua, untuk “personal branding” karena kebanyakan presenter TV juga bekerja menjadi MC.
Hadirnya banyak stiasiun TV swasta juga akan menggairahkan agency pencari bakat (talent scout). Agency ini mencari dan menyuplai tenaga pengisi acara sesuai yang dibutuhkan stasiun TV swasta, mulai dari actor untuk sinetron hingga figuran program yang diproduksi di studio.
Memang agency pencari bakat di Jawa Timur tidak sebanyak dan sebesar di Jakarta. Dulu stasiun TV di Jakarta kerap memproduksi sinetron legenda yang mebutuhkan pemain dan figuran banyak. Agency mengorganisir dan melatih actor siap pakai (meski sekadar figuran).
Demikian juga dengan rumah produksi (production house). Sejauh ini jumlah PH di Jawa Timur tergolong banyak, namun produksinya baru sebatas mendokumentasikan iven dan pernikahan. Sedikit sekali PH yang memproduksi sendiri untuk ditayangkan di TV. PH seperti ini biasanya mencari iklan sendiri untuk biaya produksi. Di Jakarta banyak PH yang sekaligus merangkap sebagai lembaga advertising atau bekerja sama dengan perusahaan periklanan.
Bagi pekerja TV, apalagi stasiu TV pendapatan dari iklannya sedikit, “momok” paling utama adalah memproduksi konten yang bisa mengisi semua slot sepanjang jam siaran. Seringkali terjadi, karena keterbatasan biaya produksi sementara mereka dituntut untuk mengisi jam tayang, terpaksa menyiarka ulang (re-run) tayangan terdahulu atau mengolah materi dari YouTube.
Mengisi slot yang kosong ini TV swasta bisa merangkul PH untuk bekerjasama mengisi konten. Berilah kebebasan dan keleluasaan PH untuk menentukan isi materi asal tidak lepas dari koridor stasiun TV yang bersangkutan dan UU Penyiaran. Bermitra dengan PH seperti ini program siaran akan selalu baru.
Memang TV lokal tidak mampu membeli produksi PH. Begitu pula PH, tidak mampu membayar kalau disuruh membeli jam tayang (blocking time). Namun hal itu bisa diatasi dengan mencari iklan bersama-sama dengan cara bagi hasil antara PH (produsen) dan TV swasta (untuk biaya air time).
Juga yang tidak kalah pentingnya adalah melibatkan partisipasi lembaga kesenian (seperti Taman Budaya), sekolah kesenian (perguruan tinggi atau sekolah menengah), organisasi-organisasi kesenian (sepert Dewan Kesenian), sanggar dan grup-grup kesenian/hiburan di daerah. Mereka akan senang bila diberi slot untuk mengisi program di TV. Sanggar-sanggar kesenian, terutama seni tradisi, atau sanggar yang anggotanya pemula, butuh media penyaluran untuk unjuk diri.
Menyajikan budaya dan kesenian daerah sebagai muatan lokal akan memperkuat identitas TV lokal.
Dengan melibatkan partisipasi potensi SDM di bidang seni dan kreatif tentunya TV swasta di Jawa Timur akan menjadi tuan di rumah sendiri. Tidak seperti selama ini, seolah hanya menjadi penonton dari stasiun TV pusat. Mereka sulit untuk menembus Jakarta. Berilah potensi-potensi tersebut ruang untuk berekspreasi dan unjuk karya, dan memberi lapangan pekerjaan.(*)
Comment